Tentang Pembunuhan dan Penelusuran Kenangan : Pelajaran dari Memories Of Murder (2003)

Memories of Murder. Film Korea. Korea. Korea. Korea. Kata-kata tersebut berputar-putar terus dikepala saya, bahkan sebelum saya memencet tombol play. Dari titelnya sudah dapat dibayangkan satu film detektif-detektifan medioker, yang diakhiri dengan percintaan malu malu dan ciuman tidak niat ditengah hujan (atau badai salju, banjir bandang, angin bahorok, you name it). Apa boleh buat, saya memang menilai film dari judulnya, dan khusus untuk kasus ini, dari Negara asalnya. Korea Selatan, Negara pengekspor konstelasi baru boyband yang lebih keji dari booming terakhir boyband di awal 2000-an. Salah satu anteknya, 2PM bahkan dengan lancang diplot menjadi pembuka konser Suede di Jakarta beberapa waktu silam, membuat saya urung menonton dan masih menyesal karenanya. Ah, tapi kita sudah terlalu jauh melenceng.

Singkat kata, sentimen ini masih terasa pada aktivitas mengunduh film saya. Saat sejumlah situs film prestisius membuat daftar film-film terbaik sepanjang dekade 2000-2010, dan didalamnya tersembul film-film Korea, saya tetap tidak tergoda. Saya berpikir, film Korea terbaik paling mentok Old Boy (2004), JSA (2000) dan sisanya adalah 11-12 Winter Sonata, Dolphin Bay, Pig Bay, yang ceritanya masih kalah dari chapter-chapter Salad Days yang sempat menggetarkan hati saya kala SMP. Titik. Namun, saya lupa kenapa persisnya, satu hari saya akhirnya mengunduh juga dua film Korea, satu berjudul Poetry (2010 - teman saya membuat review yang menarik disini http://bit.ly/lRtFin) satu lagi berjudul Memories Of Murder (2003). Film inilah yang saya putuskan untuk tonton duluan, “lumayan lah thriller” pikir saya mengingat kata “murder” di judul film. “menye-menyenya ditaruh belakangan biasanya” Dan saya yang lengah, akan dikejutkan.

Pembunuhan
Kota kecil di Korea Selatan. Tahun 1986. Disebuah selokan dekat pematang sawah, sesosok mayat perempuan tak dikenal ditemukan. Telanjang bulat dengan tangan-kaki terikat, lebam disekujur tubuhnya. Detektif dari kesatuan polisi setempat yang bertugas adalah Park Doo-Man (Song Kang-Ho), seorang bongsor yang hobi mengklaim dirinya sebagai “detektif Korea tradisional”, “Korea itu kecil, Cuma sebesar anuku, maka satu-satunya cara adalah Investigating by feet!” katanya menggebu-gebu. Senjata andalannya adalah memaksa lawan bicara untuk memandang matanya (“Shaman eyes” bualnya). Dari situ konon ia bisa mengetahui apakah si empunya mata berkata jujur atau dusta. Dengan kemampuan analisa brute force itu, didukung tim forensik setempat yang ngawur (bayangkan satu lokasi jejak kaki tersangka, yang karena tidak diisolasi, sampai hancur terlindas traktor petani), kasus segera menemui jalan buntu, dan korban dengan ciri-ciri sama terus berjatuhan: Sebuah pembunuhan berantai.
Lalu datang Seo Tae-Yoon (Kim Sang-Kyung), detektif dari Seoul yang diutus pusat untuk membantu polisi setempat yang kewalahan. Ia adalah kebalikan Park Doo-Man: logis, mengumpulkan bukti secara sistematis, dan yang paling penting, anti menyiksa tersangka. Keduanya segera berseteru; Doo-Man bersikukuh akan gayanya menginvestigasi, sembarangan memanipulasi bukti, dan dengan bantuan kawannya, Cho Yong-Koo (Kim Roe-Ha yang kocak) gemar menendangi tersangka (gerakan dropkicknya sungguh membuat saya keram perut karena tertawa). Tae-Yoon dilain pihak, sedikit demi sedikit menemukan petunjuk dan dengan tenang selalu berujar “Documents never lies”.

Diilhami oleh kisah nyata pembunuhan berantai terkenal di medio 1980-an, Memories Of Murder (MOM) berjalan dengan tempo lambat, agak menjemukan, dan pada awalnya berpusat pada friksi antara kedua detektif berkarakter beda itu: Doo-Man dan Tae–Yoon. Suatu formula yang sudah sering dipraktekkan oleh film-film polisi tandem macam Mississippi Burning, Seven, bahkan untuk blockbuster darling macam Lethal Weapon franchise. Disana-sini ia diberi bumbu banyolan ala black comedy dan sejumput dialog menarik. Itu saja. Namun di paruh kedua film, MOM berubah menjadi drama yang lebih kompleks daripada yang saya kira. Disini kepiawaian Sutradara Bong Joon-Ho dalam ‘mengganti persneling’ patut diganjar penghargaan (dan memang itulah yang terjadi). Beranjak dari pola musuh/sahabat canggung antar partner investigasi yang sudah generik, ia menjadi satu karya yang kuat. Dari good crime-comedy flick menjadi Great Movie. Mengapa?

Penelusuran Kenangan
Penyelidikan yang buntu, diiringi oleh aksi kekerasan aparat semacam Doo-Man dan Yong-Koo lama kelamaan mendapat protes dan kecaman dari warga setempat, mahasiswa dan media. Inilah titik balik MOM menurut saya.  Saat film tentang pembunuhan menjadi film tentang penelusuran kenangan: kenangan karakter didalamnya, dan kenangan satu bangsa.

Korea Selatan di tahun 1986 adalah Negara yang berusaha meraih transisi dengan bersusah payah. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan warga terjadi sepanjang tahun, meminta pemerintahan otoriter militeristik untuk turun dan menuntut perubahan menyeluruh. Familiar tentunya. Langkah terbaik Bong Joon-Ho adalah dengan tidak membiarkan filmnya berhenti pada kisah misteri “whodunit” belaka, bahwa ia menceburkan seisinya kedalam latar era tersebutlah kita bisa mengetahui, Joon-Ho memiliki misi tersendiri.
Perumahan yang sempit, aparat yang represif, birokrasi ruwet, bunyi alarm drill serangan udara (Korsel dan Korut saat itu masih selalu diambang perang) semakin memenuhi layar. Joon-Ho berusaha berkata, saat itu semangat jaman mendesak perubahan untuk segera dilaksanakan. Karakteristik Doo-Man Vs Tae-Yoon di momen ini menjadi semakin kompleks, tidak lagi hitam-putih. Doo-Man lama kelamaan menyadari, bahwa cara ‘tradisional’nya tidak lagi efektif dalam menuntaskan kasus, dan Tae-Yoon yang rasional penuh perhitungan, pun menghadapi pergulatan batin tersendiri dalam mempertahankan metodenya. Pada akhirnya kasus misterius ini akan terlupakan, menjelang akhir kita akan lupa menebak-nebak siapa gerangan si tersangka. Ia seakan jadi catatan kaki bagi kisah yang lebih besar: Kisah para manusia yang berusaha memegang kendali dalam kemelut yang serba tak pasti, dan terkadang mereka mesti mempertaruhkan segala pandangan dan nilai-nilai hidupnya.

Joon-Ho di level ini telah menyejajarkan MOM dengan karya-karya milestone seperti In The Heat Of The Night, The Secret In Their Eyes, The Lives Of Others. Ia berusaha menangkap dan menganyam sejauh mungkin serpihan kenangan kolektif sebuah bangsa disatu era krusial. Satu hal yang saya anggap nilai plus dalam film sebagai satu produk budaya. Sebab kadang ia adalah bentuk kesaksian yang terkuat, The Lives Of Others mengajarkan saya mengenai perasaan paranoia rakyat Jerman Timur akan keberadaan “musuh negara” diantara mereka; Le Haine adalah pertanyaan Prancis tentang realita masyarakat multikulturalnya yang rentan; Elephant adalah studi Gus Van Sant kedalam tendensi kekerasan psikologi Amerika kontemporer. Semua itu menjadi suara alternatif yang berharga, yang kerap ‘disisihkan’ oleh deal transaksi politik, konsumerisme massal, selera mayoritas, dan dalam konteks MOM…mungkin 2PM.

Ini mengingatkan saya pada satu forum manga (saya lupa namanya) yang mempertanyakan status National Treasure dari mangaka Naoki Urasawa, yang terkenal oleh karya-karya seperti 20th Century Boys, Monster dan lain-lain. Disitu dijelaskan bahwa Urasawa, melalui 20th Century Boys dianggap berhasil merangkum kenangan kolektif bangsa Jepang di dekade 60-an (lewat si protagonis Kenji), sebuah era optimisme dimana masa depan diharapkan akan serba praktis dan makmur (tercermin dari keluaran manga paling terkenal 60-70-an: Doraemon). Dikelanjutan komiknya, ia akhirnya mempertanyakan ulang siapa manusia Jepang sesungguhnya, ditengah perkembangan jaman yang diangankan futuristik dan tentram ternyata lama kelamaan meleset dari harapan, puncaknya pada 90-an tatkala Jepang dilanda resesi besar, saat cita-cita kandas dan arah kedepan belum kelihatan. Pertanyaan “siapa kita sekarang?” inilah yang membuat Urasawa dan 20th Century Boys menjadi “treasure” tersendiri.

Disini mungkin giliran kita bertanya, siapa kita, siapa manusia Indonesia sesungguhnya? Benarkah klaim-klaim mainstream sejauh ini, bahwa “orang sini” adalah mereka yang relijius, berbudi pekerti pancasila, halus khas ‘timur’, sementara disisi lain korupsi, kekerasan dan feodalisme-mental kawanan-serba seragam masih jadi gaya utama di kehidupan sehari-hari? Rasanya kita pun membutuhkan satu “penelusuran kenangan”, satu perjalanan yang menjelajahi psike manusia Indonesia, dan potensinya di masa depan. Tanpa perlu terjebak dengan menjadikan demarkasi imajiner lokal-global sebagai titik final. Penelusuran tandingan sebenarnya, disaat pihak lain makin getol membombardir kultur baru yang bermunculan, sambil sibuk mengelap-ngelap identitas lama yang tidak jelas sampai kapan ingin dipanjangkan nafasnya. Tidak mudah, dan dalam kasus Indonesia, seperti istilah budayawan Hawe Setiawan, dibutuhkan suatu sikap “melampaui batas” -term yang dalam kosakata kultural kita cenderung digambarkan negatif- untuk mempertanyakan identitas kita yang sudah biasa dibakukan dari orde ke orde.

MOM sendiri bukanlah jenis film dimana saat credit title penanda akhir film mulai bergulir, berbagai pertanyaan dikepala sudah tuntas terjawab dan kita tinggal melakukan aktivitas lain seperti biasa dengan hati puas sudah melihat adegan ranjang. Endingnya ambigu, bahkan terkesan kabur. Suatu hal yang akan mengesalkan saya apabila ini memang film “whodunit” belaka. Namun, ending MOM disini memang bukan kunci jawaban, ia lebih berupa undangan multiple choice tak terbatas kepada penontonnya, untuk melanjutkan proses penelusuran, dimana tiap orang akan menjumpai kesimpulannya sendiri. Pertanyaan identitas selalu tidak pasti, kadang berhenti ditengah jalan, lalu timbul tenggelam. Korea Selatan pun untuk beberapa saat ini masih akan tetap dilihat sebagai eksportir musisi pria singset jelita, sementara saya tetap menyimak produk sinetronnya (dan varian lokalnya di stasiun TV kita) sambil berusaha digetarkan lagi oleh Salad Days. Tapi akan sulit melupakan detektif Doo-Man - pada adegan kunci film - saat shaman eyes-nya menyapu mata si tersangka utama, dengan bimbang ia berucap “Fuck, I don’t know. Do you get up each morning too?”. Klaim usang akan selalu bermunculan, sembari mengiming-imingi kepastian, superioritas, atau sedikit kenyamanan. Tapi itu nanti, untuk saat ini, biarkan satu karya, satu pertanyaan “siapa kita” mulai diajukan membuka jalan. (Mirza)

Posting Komentar

2 Komentar

  1. mirjaaaaa, bagi dong filmnyaa,baru baca awalan tulisanlo kayanya seru amat. gue mau baca ampe kelar takut spoiler >.< mau ntn dulu ajaaa

    BalasHapus
  2. ya, filmnya menyusul gan!

    atau ini sekalian kalo ada torrent: http://thepiratebay.org/torrent/5178452/%5BASIAN%5D_Memories_Of_Murder_%28DvdRip_KOR%29_%28ENG-ITA_subs%29 (jadi situs filesharing)

    BalasHapus

Delete this element to display blogger navbar